Pengacara Licin dari Wisma Metropolitan

TIGA tahun lalu, tak ada pengacara di Jakarta yang kenal nama Lucas. Alumni Universitas Hasanuddin yang namanya cuma satu patah kata ini “hanyalah” pegawai di bagian legal Bank Bira. Namun, seiring dengan didirikannya pengadilan niaga, ketenaran pengacara yang punya wajah bulat ini mencuat. Penyebabnya, ia berhasil memenangi setiap perkara kepailitan yang dipegangnya di Pengadilan Niaga Jakarta.

Begitu mendalamkah pengetahuan Lucas dalam seluk-beluk masalah kepailitan? Belum jelas. Yang pasti, lelaki perlente itu lebih kerap mendapat suara-suara miring. “Lucas itu sangat pandai dalam soal tipu muslihat,” ujar seorang pengacara kondang. Kepandaian peng-acara yang tega memanipulasi bukti untuk memenangi perkara ini rupanya bikin resah koleganya. “Sepak terjangnya mencoreng citra korps pengacara,” ujar Pengacara Palmer Situmorang.

Palmer memberi bukti. Setidaknya ada lima perkara yang ditangani pengacara yang berkantor di Wisma Metropolitan, Jakarta, itu yang bermasalah. Yang paling fenomenal adalah kasus saham ganda Manulife, yang telah mencoreng akal sehat masyarakat. Kasus ini bermula dari pembelian 40 persen saham Dharmala Sakti Sejahtera oleh Manulife International. Perusahaan asuransi ternama asal Kanada itu membeli saham Dharmala lewat lelang resmi pada 26 Oktober 2000 senilai Rp 170 miliar. Belakangan, muncul klaim bahwa saham Dharmala tersebut telah dibeli oleh Roman Gold Asset senilai Rp 354,4 miliar dari Harvest Hero International. Sedangkan Harvest memperoleh saham tersebut dari Highmead Limited, yang mendapat kuasa penjualan dari bekas bos Grup Dharmala, Suyanto Gondokusumo.

Tak usah bingung bagaimana Roman bisa mendapatkan saham Dharmala sebelum lelang diadakan. Akhir tahun lalu, di pengadilan Hong Kong terungkap tentang “keahlian” Lucas. Seorang tertuduh, Maggie Ho Yuk Lin, Direktur AMS Management Services di Hong Kong, mengaku bahwa ia membuat dokumen-dokumen palsu atas instruksi Lucas. Salah satunya adalah tentang pendirian Harvest Hero, yang pendiriannya diundurkan ke tahun 1996 padahal dokumen dibuat tahun 2000. Begitu juga affidavit (kesaksian tertulis) seorang notaris asal Singapura yang bernama Wilson Yip di pengadilan yang sama. Yip mengungkapkan permintaan Lucas agar dirinya ikut merekayasa transaksi fiktif penjualan saham Dharmala kepada Roman Gold. Apa jawab Lucas? “Affidavit itulah yang fiktif,” ujarnya.

Agaknya, memalsukan bukti-bukti adalah salah satu keahlian Lucas. Tengok saja kasus Panca Overseas Finance (POF), anak perusahaan Grup Panin yang gagal dipailitkan akibat rekayasa pengacara itu. Awalnya, pada Januari 2001 POF digugat pailit oleh International Finance Corporation (IFC) karena mengemplang utang sebesar US$ 13 juta. Saat gugatan IFC tengah berlangsung di Pengadilan Niaga Jakarta, tiba-tiba muncul 14 lembaga keuangan yang mengklaim sebagai kreditor POF. Ke-14 kreditor fiktif ini mengaku memiliki piutang sebesar Rp 1,3 triliun di POF. Anehnya, sebagai “kreditor mayoritas”, mereka menolak langkah pemailitan POF. “Sialnya, hakim percaya pada cerita soal 14 kreditor itu,” ujar Luhut M.P. Pangaribuan, kuasa hukum International Finance Corporation.

Jalan Lucas untuk memuluskan trik-trik licinnya memang tak akan berhasil bila hakim tidak memercayai ceritanya. Faktanya, aparat penegak hukum di kasus-kasus kepailitan seperti dicocok hidung bila berhadapan dengannya, seperti yang terjadi pada Hakim Hasan Basri dalam kasus Manulife.

Apakah uang yang bicara? Sayang, Lucas tak mau menjawabnya. Pengacara keturunan Tionghoa ini cenderung menutup diri kepada wartawan. Pelbagai pemberitaan tentang akal busuknya yang kerap dilakukan untuk memenangi perkara membuatnya menjadi apriori terhadap pers. Jawabannya ketus saat dihubungi lewat telepon selulernya. “Tak ada wawancara. Wartawan dibayar untuk menjelek-jelekan saya,” kata Lucas, yang kini juga menangani perkara mantan Gubernur Timor Timur, Abilio Soares.

Leave a comment