Repotnya Menyeret Sang Jenderal

LETNAN Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, 52 tahun, sejak dua pekan lalu puasa bicara. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan yang biasanya ramah kepada wartawan ini melakukan aksi tutup mulut. Ia enggan bertemu wartawan. Telepon genggam yang biasanya selalu ditenteng kini berpindah ke ajudan. “Saya tak mau berkomentar soal penculikan,” ujar Sjafrie kepada wartawan, suatu saat.

Diamnya Sjafrie itu memang terkait dengan posisinya yang kini tengah menjadi target pemanggilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Maklum, bekas Panglima Kodam Jakarta ini dianggap ikut bertanggung jawab atas kasus penculikan belasan aktivis penentang rezim Soeharto. Ia tak sendirian menghadapi “kerepotan” ini. Bersamanya, juga dipanggil Wiranto (bekas Panglima ABRI) dan Prabowo Subianto (bekas Komandan Jenderal Kopassus) oleh tim khusus bentukan Komnas HAM. Tim ini memang bertugas mengorek informasi dari para jenderal itu soal raibnya 14 aktivis sepanjang 1997 dan 1998.

Sebenarnya Komnas HAM telah mengundang para jenderal itu sejak awal Juni silam. Tapi tak ada respons apa pun dari ketiganya. Wiranto, Prabowo, dan Sjafrie ogah datang. Mereka beralasan tidak ada lampu hijau dari Cilangkap, Markas Besar TNI, yang membolehkan mereka memenuhi undangan.

Tentara memang menolak warganya dipanggil Komnas HAM. Kepala Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI, Mayjen F.X. Johanes Sukiman, menegaskan pemeriksaan jenderal dan purnawirawan yang tersangkut kasus penculikan hanya bisa dilakukan bila ada keputusan politik dari presiden dan DPR. Bila tidak, “Undangan Komnas HAM tak perlu diladeni,” ujar Johanes Sukiman, enteng.

Tidak ingin target kakapnya lolos, Komnas HAM pun melayangkan sepucuk surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Komnas HAM, isi surat itu meminta Presiden menekan Mabes TNI agar mengizinkan pemeriksaan terhadap Wiranto cs. Garuda Nusantara menegaskan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memungkinkan pemeriksaan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang telah berlalu (retroaktif).

Apa reaksi Presiden? Belum jelas. Juru bicara kepresidenan, Andi A. Mallarangeng, mengatakan Presiden belum membaca surat dari Komnas HAM. “Kalau sudah di meja Presiden, akan segera mendapat jawaban,” ujar Mallarangeng.

Sampai di sini, proses formal pemeriksaan sepertinya tertunda sejenak. Tetapi, di luar pemanggilan resmi itu, Wiranto sudah bertemu Komnas HAM di Hotel JW Marriott, Jakarta, 10 Juni lalu. Dalam pertemuan itu Wiranto tak didampingi Babinkum TNI. Sedangkan dari Komnas HAM hadir Ruswiyati Suryasaputra, Ketua Tim Komnas untuk kasus penculikan aktivis. Ruswiyati didampingi anggota Komnas HAM, Mayjen (Purn.) Samsoedin.

Meski bersifat “tak resmi”, Wiranto bersedia membuka informasi tentang nasib 14 aktivis yang hilang. “Mereka semua telah mati,” ujar Wiranto, seperti ditirukan Samsoedin.

Info ini jelas kian mempertebal aroma maut yang mewarnai hari-hari terakhir rezim Soeharto. Sepanjang tahun 1997-1998 itu, ada 23 aktivis mahasiswa, buruh, dan partai politik yang menjadi korban penculikan oleh Kopassus TNI Angkatan Darat. Andi Arief, Nezar Patria, Pius Lustrilanang, dan Haryanto Taslam adalah sebagian dari sembilan korban yang selamat. Tetapi 14 aktivis lainnya, antara lain Suyat, Wiji Tukul, dan Dedi Hamdun, hingga kini hilang tak berbekas. Dalam sebuah wawancara, Prabowo Subianto, bekas Danjen Kopassus, menyatakan penculikan itu untuk mengamankan jalannya Sidang Umum MPR 1998.

Bagi Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi), informasi tersebut benar-benar mengagetkan. Mereka meminta Komnas HAM tak melempem dalam mengungkap lembaran hitam itu. Mugiyanto, Koordinator Ikohi, berharap dapat menemukan kuburan aktivis yang meninggal dunia tersebut.

“Tujuh tahun Wiranto berhasil menyembunyikan informasi itu,” ujar Mugiyanto. Ikohi menuntut penyidikan secara tuntas kasus penculikan ini dan menghukum para pelakunya. Bola panas itu kini di kaki Presiden Yudhoyono.

Leave a comment